Jakarta, Wartabanten.com – Selain untuk mempertahankan integritas dan kedaulatan negara, nasionalisme diperlukan untuk memastikan pembangunan yang berkelanjutan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagai pelayan publik dan pelaksana kebijakan negara, Aparatur sipil negara (ASN) pun dituntut memiliki nasionalisme, karena diperlukan integritas, dedikasi, dan semangat pengabdian yang tinggi untuk melayani rakyat dan mendukung pembangunan bangsa, menjaga kepercayaan publik terhadap pemerintah, serta memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan benar-benar bermanfaat bagi negara dan seluruh warganya.
Dalam upaya tersebut, Duta Sinergi, Inovatif, Akuntabel, Proaktif (SIAP) Kepegawaian dan Deputi Bidang Dukungan Kebijakan dan Wawasan Kebangsaan (DKPWK) Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) berkolaborasi dengan Badan Pembinaan Ideologi Kebangsaan (BPIP) menggelar bedah film tentang nasionalisme. Dikemas dalam program peningkatan kapasitas pegawai, acara mengangkat tajuk Roompi (Room of People Improvement) Bareng Nicholas Saputra, “Cerita Nasionalisme di Mata Milenial”, dan digelar secara luring di Auditorium Setwapres, Jl. Kebon Sirih No. 14, Jakarta Pusat, pada Rabu (31/07/2024).
Dalam acara ini, penyelenggara menghadirkan aktor ternama Tanah Air Nicholas Saputra sebagai salah satu pembicara. Adapun film yang dibedah merupakan film yang diperankan oleh Nicholas sendiri, yakni “Sayap-Sayap Patah”, karya Rudy Soedjarwo.
Nicholas memaparkan bahwa film ini berupaya memanusiakan kisah-kisah dan tokoh-tokoh yang jarang ditayangkan di layar kaca serta belum ramah di telinga masyarakat.
“Intinya, [kami] ingin mencoba menggali kemanusiaan dari kisah-kisah yang mungkin sebagian kita hanya tahu di berita, tokoh-tokohnya juga kita tidak mengenal lebih jauh. Kami ingin mewakili suara mereka,” ungkapnya.
Seperti cerita yang digambarkan dalam film Sayap-Sayap Patah, Nicholas menyebutkan, cinta terhadap negeri adalah kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, perlu diketahui bahwa perasaan cinta tersebut tidak statis, senantiasa berevolusi dari waktu ke waktu.
“Kalau cinta negeri, tentu itu menjadi bagian utama. Tapi, bagaimana kita tetap bisa relevan dengan isu-isu atau dengan norma-norma yang terjadi di dunia saat ini,” ucap Nicholas.
“Mungkin patriotisme kita di tahun 1940-an berbeda dengan 1960-an, berbeda dengan tahun 1980-an, berbeda sampai sekarang. Jadi, pasti ada pergeseran, pasti ada interpretasi baru, ada tujuan-tujuan yang baru, yang lebih kontekstual terhadap zaman sekarang,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Nicholas menuturkan, segala macam budaya baru yang masuk ke Tanah Air tidak lagi bisa disebut sebagai ancaman, melainkan menjadi salah satu sumber kekayaan bagi masyarakat Indonesia untuk meningkatkan kualitas diri sebagai warga negara yang bernilai.
“Saya merasa bahwa pengaruh dari luar itu bukan suatu ancaman, justru itu adalah sumber untuk memperkaya kita sendiri. Kalau kita melihat budaya, warisan, leluhur yang dulu, itu juga semua gabungan dari berbagai macam unsur budaya, informasi, pengetahuan, literasi,” jelas Nicholas.
“Jadi harusnya bukan menjadi ancaman, justru kita membentuk terus apa yang baru, apa yang bisa kita kasih [kepada negara],” pungkasnya.
Pada kesempatan yang sama, Asisten Deputi Hubungan Luar Negeri Lukman Hakim Siregar memaparkan perihal rasa nasionalisme warga negara Indonesia (WNI), termasuk generasi muda dewasa ini ketika berada di luar negeri. Menurutnya, sikap tersebut menjadi sangat penting dan perlu dipertahankan. Sebab, nasionalisme itu akan bercampur dengan nasionalisme asing.
“Kalau kita berbicara tentang nasionalisme, mestinya secara teori itu antara gabungan atau vis-a-vis nasionalisme asing dengan nasionalisme kita sendiri, itu sebenarnya. Oleh karena itu, membangun nasionalisme vis-a-vis nasionalisme kita di luar negeri dengan yang ada di dalam negeri itu sangat penting sekali,” ujar Lukman.
“Ketika saya penempatan di Kanada, yang membuat nasionalisme itu berkurang, misalnya adalah ketika di sekolah diajarkan LGBTQ, itu membuat nasionalisme [asing] tinggi sekali,” tambahnya memberikan contoh.
Sementara, Direktur Jaringan dan Pembudayaan BPIP Toto Purbiyanto menjelaskan, ada empat hal yang dapat menumbuhkan sikap nasionalisme kaum milenial merujuk pada ucapan Presiden Joko Widodo. Yang pertama adalah kuliner, sebab zaman sekarang kuliner menjadi salah satu hal yang sangat diminati oleh banyak orang, terutama anak muda.
“Buat sesuatu yang mengembirakan tentang kuliner Indonesia. Dan kita bersyukur, kita sangat-sangat kaya tentang kuliner,” jelasnya.
Yang kedua, musik. Toto menguraikan, jutaan generasi muda di Indonesia sangat suka dengan musik. Menyiratkan nilai-nilai nasionalisme dalam lagu memungkinkan rasa cinta kaum milenial terhadap Tanah Air meningkat.
Yang ketiga adalah olahraga. Berbagai cabang olahraga (cabor) diikutsertakan dalam perhelatan olimpiade, baik dalam negeri maupun internasional. Hal ini juga menjadi salah satu faktor yang dapat memperkuat rasa nasionalisme generasi muda melalui keterlibatan secara langsung dalam perlombaan cabor atau mendukung kemenangan yang membawa nama baik Tanah Air.
“Yang terakhir, film, pasti, bagaimana film-film kita menumbuhkan rasa kebangsaan, nasionalisme, dan mempersatukan kita, mungkin itu,” ujarnya.
Sebelumnya, Plh. Deputi Bidang DKPWK Suprayoga Hadi menyampaikan, digelarnya acara Roompi Bareng Nicholas Saputra ini bukan semata untuk menyaksikan film bersama, tetapi juga sebagai ajang untuk introspeksi dan memperbaiki diri dalam hal semangat nasionalisme.
“Untuk kita cerna, kita digest (mengambil intisari), dan bagaimana kemudian kita perbaiki, bagaimana semangat kita, value dari Pancasila, value dari nasionalisme, dan sebagainya itu benar-benar bisa kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari,” urai Suprayoga.
“Terutama para milenial ya, bagaimanapun sangat-sangat perlu untuk kita tingkatkan nasionalismenya,” tambahnya.
Acara bedah buku ini dikemas dalam diskusi santai dan tanya jawab dengan peserta yang dipandu oleh Moderator Nellyana.
Hadir dalam acara ini, Deputi Bidang Administrasi Sapto Harjono W. S., Deputi Bidang Pengendalian Evaluasi BPIP Adiyanti, Kepala Biro tata Usaha, Teknologi Informasi, dan Kepegawaian (TUTIK) Yayat Hidayat, Direktur Pengendalian BPIP Fahru Rozi, serta segenap pejabat dan pegawai Setwapres. (HB/SK–Setwapres, BPMI)